Senin, 02 Februari 2015

Geliat Muslimah Eropa dan Australia Melawan Kekafiran

Jurnalis Independen: Setelah tragedi balas dendam berdarah kelompok muslim yang dianiaya melalui Majalah Satire Charlie Hebdo di Perancis, tak henti-hentinya komunitas muslim yang minoritas di bagian negara Eropa dan Australia mengalami kekerasan. Namun, kekerasan yang ditunjukan melalui demo di balas oleh komunitas muslim dengan santun namun tetap power full.


Organisasi Gerakan Anti Islam PEGIDA Jerman melakukan unjuk rasa pertama kalinya di Austria, Senin (2/2). Seperti dilansir dari AFP unjuk rasa PEGIDA, kalah jumlah dibandingkan demonstrasi yang dilakukan untuk menolak mereka. Demo tandingan lebih besar 10 kali lipat dari PEGIDA.

Juru Bicara Kepolisian, Roman Hahslinger mengatakan, sekitar 400 pendukung PEGIDA muncul dalam aksinya. Massa mereka tidak kelihatan setelah lima ribu orang bergabung untuk menolak PEGIDA.

Kelompok tandingan berteriak mengusir PEGIDA sambil mengibarkan bendera pelangi. Kedua kelompok sempat adu mulut tetapi bentrok dapat dihindari. Sekitar 1.200 polisi berjaga di malam unjuk rasa di pusat kota Wina.

Juru Bicara PEGIDA, Georg Immanuel Nagel mengatakan, akan ada demonstrasi lanjutan. Dia mengklaim pendukungnya kini semakin banyak yang muncul.

Kelompok anti Islam di Eropa ini melakukan pawai pertama kali di Dresden, Jerman. Sebanyak 12 ribu orang beramai-ramai unjuk rasa usai tragedi Charlie Hebdo. Selain di Jerman, muncul di negara lain seperti Denmark, Swiss dan Spanyol.



Muslimah Australia Adakan Forum Lawan Islamofobia
Sementara setelah tragedi Charlie Hebdo, Muslimah Australia berencana untuk membuat forum di kota timur Australia Selatan, Hume.

Forum tersebut akan menjadi sarana bagi perempuan muslimah untuk berbicara menentang kekerasan yang mereka hadapi baru-baru ini. Pembentukan forum itu dikarenakan meningkatnya laporan serangan Islamofobia akibat dari kasus Charlie Hebdo dan penyanderaan di kafe Australia beberapa waktu lalu.

Penyelenggara acara itu diinisiasi aktivis jaringan pemersatu lintas kepercayaan, April Robinson. Forum itu dijadwalkan diselenggarakan di Hume Global Learning Centre pada 25 Februari mendatang. "Perempuan Muslim lebih eksplisit daripada pria ketika mereka memakai jilbab," ujar April Robinson seperti dilansir Islam Online.

Dia mengatakan, perempuan menggunakan jilbab sebagai ekspresi pengabdian terhadap agama yang dianut. Namun, banyak wanita harus melepas jilbabnya agar dapat naik kereta tanpa diganggu.

Selain mengadakan forum itu, pihaknya juga berencana mengadakan lokakarya khusus bagi mereka yang tinggal dalam ketakutan. Lokakarya itu rencananya akan diadakan oleh Gereja Uniting di Australia bersama dengan Lentara Uniting  Care dan Dianella Kesehatan Masyarakat.

Dalam lokakarya tersebut akan dijelaskan bahwa perempuan Muslim Australia tidak perlu merasakan takut untuk meninggalkan rumah tanpa seorang pria atau kelompok. Sehingga, tidak perlu merasa di perlakukan secara tidak adil.

Anehnya, pada saat yang sama aturan kontroversial diberlakukan oleh Parlemen Federal Australia. Disebutkan, Muslimah berhijab dilarang untuk menyaksikan proses persidangan secara langsung namun ditempatkan pada satu tempat khusus sebagai gantinya.


Aturan ini segera memicu kemarahan dikalangan pembela hak asasi minoritas. "Tidak ada yang harus diperlakukan seperti warga negara kelas dua. Paling tidak di parlemen," kata Komisaris Diskrimnasi Ras, Tim Southphomasane, seperti dilansir onislam.net, Jumat (3/10). Tim mengungkap belum pernah ada ahli atau analis yang menyimpulkan burka atau niqab berbahaya bagi keamanan parlemen.

Nantinya, tempat khusus itu akan diberi kaca kedap suara. Departemen Pelayanan Parlemen berdalih setiap aparat keamanan akan tahu apa yang terjadi di tempat itu berikut kemudahan identifikasi.

Soutphommasane mengecam keputusan itu. Ia menyatakan bahwa umat Islam harus memiliki hak yang sama. "Muslim Australia berhak atas kesempatan yang adil dan diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang setara," tambah komisaris Soutphommasane.

"Jika ada kekhawatiran dengan keselamatan dan keamanan umum, ini pasti akan dipenuhi dengan pemeriksaan keamanan bahwa semua pengunjung diwajibkan untuk menjalani mekanisme itu saat masuk ke Parlemen."

Komisaris HAM Tim Wilson menilai aturan ini merupakan jenis lain dari pembedaan warga negara. "Tidak ada pembenaran untuk itu. Kebijakan itu juga tidak perlu," ucap dia.

Senator Christine Milne menulis bahwa Parlemen harus memperlihatkan satu contoh tanpa perlu menyerang orang lain atau pihak tertentu. "Mekanisme pengamanan sudah ketat. Ini sudah cukup. Namun, usulan saat berusaha untuk secara permanen melarang burqa di Gedung Parlemen bertentangan dengan keberagaman masyarakat Australia," ucap dia.

Tidak ada komentar: